Kamis, 05 Mei 2011

Cara Soeharto Tunjukkan Kedaulatan Patut Ditiru




soekarno soeharto Cara Soeharto Tunjukkan Kedaulatan Patut Ditiru
“Ketika seorang kepala Negara memancing, radius pengamanan oleh aparat sangat luas dan sekaligus melambangkan kemampuan menjaga keamanan dan kedaulatan atas wilayah laut,” kata Zamzami dalam Seminar I Pemberdayaan Wilayah Perbatasan di Universitas Internasional Batam di Kepulauan Riau, Rabu (30/3).Dalam seminar yang diselenggarakan Lembaga Kajian Strategis Ekonomi Politik Perbatasan itu, Zamzami mengatakan, cara Presiden Soeharto ketika itu sederhana dan sebaiknya ada pejabat pemerintah kini yang meniru di laut perbatasan Kepri.
Kini soal kedaulatan Indonesia dalam hal ini di Kepri yang 96 persen terdiri atas laut, dan 2.408 pulau besar dan kecil, menurut Zamzami, perlu dijaga dengan kekuatan, serta diplomasi, dan manajemen perbatasan yang berperspektif kelautan disertai pendekatan kesejahteraan bagi warga.
Ia menilai selama ini kelemahan dalam mengelola kelautan merupakan titik lemah dan rawan menimbulkan kerugian pada masyarakat di sepanjang pantai dan terjadi pencaplokan pulau-pulau perbatasan, penyelundupan dan penjarahan sumber daya laut oleh kapal-kapal asing.
Padahal Kepri sebagai wilayah penyangga politik perbatasan harus dibangun dengan fokus pada manajemen maritim dan dengan regulasi yang meleluasakan warga masyarakat di perbatasan untuk hidup sejahtera, katanya.
Zamzami menyarankan pemerintah agar mengajak Malaysia membangkitkan kembali komitmen yang dibuat pada April 1972 untuk bersama-sama melindungi kehidupan dan warga masyarakat di pantai-pantai sepanjang Selat Malaka dan terutama di Kepri.
Komitmen April 1972 dapat merawat posisi geostrategis Kepri yang berperanan menyangga stabilitas politik negara-negara sekitar, katanya.
Bagi Indonesia, menurut dia, komitmen dengan Malaysia yang dibuat pada April 1972, bila dibangkitkan akan menjadikan warga di pantai-pantai kedua negara tidak lagi memandang asing satu sama lain hanya karena berbeda wilayah dan kebangsaan.
“Kelak, misalnya tidak lagi terjadi kesalahpahaman tentang batas-batas daerah tangkapan nelayan dari kedua negara,” katanya.
Kebangkitan komitmen April 1972 dapat diupayakan dengan memanfaatkan posisi Indonesia yang kini Ketua ASEAN, katanya.
Ia menuturkan, komitmen pada April 1972 merupakan salah satu dari sekian kesepakatan Indonesia dan Malaysia dalam menjaga agar kawasan ini tetap aman sebagai jalur lalu lintas perdagangan banyak negara di Asia, terutama Jepang, dan pada akhir-akhir ini, Korea serta China.
Tonggak sejarah politik perbatasan di kawasan ini telah dimulai ketika pada 17 Maret 1970 ditandatangani perjanjian mengenai batas laut Selat Malaka antara dua negara pantai, Malaysia dan Indonesia yaitu mulai dari Selatan One Fathom Bank yang berada di Kelang sampai ke Selat Durian Singapura.
Posisi geostrategis Indonesia dalam hal ini Kepri di kawasan Selat Malaka sebagai jantung lalu lintas peradaban dunia di Asia, dianggap penting Amerika Serikat sehingga harus mengontrol keseimbangan kekuasaan di kawasan Asia guna memastikan bahwa wilayah ini memiliki hak otonomi yang kuat, inklusif dan tidak bergolak.
Menurut Zamzami, wilayah Kepri yang bersentuhan langsung dengan perbatasan berbagai negara merupakan entitas politik paling majemuk dan paling inklusif serta menjadi kawasan terkaya akan ragam budaya dan dinamika politik karenanya dicermati Singapura, Malaysia bahkan AS dan Australia setiap waktu.
Amerika Serikat, katanya, menganggap Indonesia sebagai pemain kunci, selain Jepang dan China, bagi terwujudnya sistem keamanan yang stabil di Asia Tenggara
Badan Pengelola
Pembicara lain dalam seminar tersebut, Sekretaris Komisi I DPRD Kepri Surya Makmur Nasution mengusulkan Gubernur Kepri mempercepat pembentukan Badan Pengelola Perbatasan (BPP) Provinsi Kepri agar pembiayaannya dapat mulai dialokasikan melalui APBD Perubahan Kepri 2011.
BPP Provinsi Kepri, hendaknya dibentuk bukan hanya untuk melaksanakan amanah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, melainkan hendaknya sebagai kesadaran betapa penting mengelola kawasan perbatasan di Kepri dengan perspektif kelautan dan pendekatan kesejahteraan, katanya.
Pengelolaan perbatasan tidak dapat dilakukan secara parsial BPP provinsi semata, melainkan harus terintegrasi secara konseptual dan bersinergi dalam pelaksanaannya dengan BPP kabupaten-kota.
Orang-orang di BPP hendaknya memiliki kapasitas dan kompetensi yang mumpuni dengan sikap nasionalisme sejati, siap dan sanggup bekerja keras, jujur dan berani mengambil keputusan-keputusan yang berpihak kepada kepentingan kesejahteraan warga Kepri dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengelolaan perbatasan di Kepri, menurut Nasution, perlu didukung kalangan pemangku kepentingan dan menyertakan Program Sarjana Penggerak Perbatasan.
Ia mengemukakan, di Kepri terdapat potensi perikanan yang luyar biasa, serta di Perairan Natuna dan Kepulauan Anambas melimpah potensi migas.
Tetapi, katanya, potensi perikanan laut baru terkelola kurang dari lima persen, sedangkan pengelolaan minyak dan gas hingga kini posisi masih terpinggirkan.
“Hal itu merupakan salah urus akibat dampak dari sentralisasi sistem pemerintahan rezim Orde Baru. Sudah saatnya Kepri bangkit untuk menata diri dengan kayaan maritim,” katanya.
Khusus soal pengelolaan minyak dan gas bumi di Natuna dan Kepulauan Anambas, menurut Nasution, Pemprov Kepri harus mampu melakukan upaya-upaya strategis sampai ke tingkat lobi untuk memperkuat posisi tawar sebagai daerah penghasil.
Peningkatan dana bagi hasil minyak sudah saatnya diperjuangkan lebih besar dari sekarang ini yang hanya lebih kurang Rp1,4 triliun per tahun

Jejak Langkah Soeharto (1), Bayar Peramal dari India

   



NAIKNYA Soeharto di kursi kekuasaan menggeser posisi Presiden RI Soekarno tak lepas dari dua momen penting, sebagai batu loncatan --meletusnya peristiwa G 30 S PKI dan lahirnya Supersemar. Di mana posisi Soeharto ketika terjadi aksi penculikan besar-besaran terhadap para jenderal TNI AD? Benarkah Soeharto akan diracun seorang wanita yang mengaku sebagai anak Soeharto?
Postur tubuhnya tak terlalu tinggi. Umurnya, kira-kira lebih dari 50 tahun. Ketika berbicara, laki-laki tak dikenal itu selalu menggunakan bahasa Inggris dan Indonesia. Pria keturunan India itu, suatu hari mampir ke rumah Soeharto di Jl Agus Salim, Jakarta. Ketika itu Soeharto berpangkat mayor jenderal dan menduduki pos cukup penting --Pangkostrad. Entah siapa yang mengajak pria itu mampir ke rumah Pangkostrad. Yang jelas, pria itu diterima Ibu Tien Soeharto, sang pemilik rumah. Setelah dipersilakan duduk, pria itu menawarkan barang dagangannya, berupa batu-batu permata yang berwarna-warni.
Sayangnya ketika berbagai jenis permata itu ditunjukkan, Ibu Tien tidak begitu tertarik. Pria itu lalu mengeluarkan 'jurus' baru --mengaku bisa meramal nasib seseorang. Sontak Ibu Tien menjadi tertarik dan ingin mendengarkan ceritanya. "Sekedar mengisi keisengan saya setuju saja. Setelah orang itu melakukan cara-cara sesuai 'ilmunya', ia lalu menceritakan keadaan masa lalu saya. Banyak yang cocok. Saya jadi penasaran sehingga ingin tahu lebih lanjut apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang," kenang Ibu Tien seperti yang terungkap dalam buku otobiografinya berjudul Siti Hartinah Soeharto Ibu Utama Indonesia.
Dialog pun berlanjut, hingga akhirnya mengarah kepada nasib Soeharto. Lagi-lagi sang penjual akik mempertontokan 'jurus'-nya. Ibu Tien terpana. "Madam.. Suami Madam akan berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan presiden yang sekarang --Soekarno," kata pria itu.
Mendengar penjelasan itu, Bu Tien hanya tersenyum dan mengaku tidak percaya dengan sang peramal. "Ah, tak mungkin…. Suami saya hanya seorang perwira tinggi TNI AD. Sebagai Panglima Kostrad. Sesekali hanya mewakili Menteri/Panglima AD. Itupun sudah berat sekali. Saya tidak percaya," katanya.
Sang peramal mengaku tak akan memaksakan Bu Tien untuk mempercayai ramalannya. Justru yang ia perlukan adalah imbalan jasa ramalannya. Ibu Tien kemudian bertanya, berapa bayarannya. Sang pria itu menjawab, "Forty thousand (empat puluh ribu rupiah)." Akan tetapi Ibu Tien menangkapnya lain. Ia mengira sang peramal itu meminta imbalan forteen thousand (empat belas ribu).
Gara-gara itu, Bu Tien kembali masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil uang. "Madam, not forteen but forty." Sebenarnya Ibu Tien sendiri merasa menyesal. Sebab, biaya atau ongkos meramalnya terlalu tinggi. "Mengapa untuk hal begini saja, cuma sekedar iseng-iseng kok harus merogoh saku empat puluh ribu yang pada waktu itu tergolong jumlah yang banyak. Padahal gaji suami pas-pasan saja," kenang Ibu Tien. Setelah uang diberikan, sang peramal itu lalu pergi.
Sejak itu Ibu Tien mengaku tak pernah lagi bertemu dengan sang peramal itu, meski Soeharto pada akhirnya menjadi seorang tokoh bangsa yang tampil pada 1 Oktober 1965, menghadapi kudeta PKI, lalu dipercaya menjadi presiden menggantikan Soekarno. (Persda Network/Achmad Subechi)