Sang Proklamator (Mohammad Hatta)

Mohammad Hatta

Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.

Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.

Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.

PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).

Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.

Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."

Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.

Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.

Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.

Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.

Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.

Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.

Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.

Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980. 

Nama:
Dr Mohammad Hatta
(Bung Hatta)
Lahir:
Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat:
Jakarta, 14 Maret 1980
Istri:
Rahmi Rachim (alm)
Anak:
Meutia Farida
Gemala
Halida Nuriah
Gelar Pahlawan:
Pahlawan Proklamator RI tahun 1986

Pendidikan:
Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi, 1916
Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang, 1919
Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang) di Jakarta, 1921
Nederland Handelshogeschool di Rotterdam, Belanda (dengan gelar Drs), 1932

Kegiatan:
Bendahara Jong Sumatranen Bond, di Padang, 1916-1919
Bendahara Jong Sumatranen Bond, di Jakarta, 1920-1921
Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda, 1925-1930
Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, di Berlin, 1927-1931
Ketua Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), 1934-1935
Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang, April 1942
Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, Mei 1945
Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 7 Agustus 1945
Proklamator Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945
Wakil Presiden RI pertama, 18 Agustus 1945
Wapres merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, Januari 1948-Desember 1949
Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari ratu Juliana, 1949
Wapres merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet RIS, Desember 1949-Agustus 1950
Mengundurkan diri dari jabatan Wapres, 1 Desember 1956
Dosen di Sesko AD, Bandung, 1951-1961
Dosen di UGM, Yogyakarta, 1954-1959
Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi, 1969
Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila, 1975

Artikel Lainnya:
Mohammad Hatta

Bapak Bangsa Sejati


Hari ulang tahun Mohammad Hatta atau kita akrab menyapa dengan Bung Hatta yang ke-100, Senin 12 Agustus 2002 patut dirayakan oleh seluruh bangsa Indonesia. Beliau Proklamator Kemerdekaan RI, bersama Bung Karno, berani membubuhkan tanda tangannya pada naskah proklamasi yang mengantarkan kita menjadi bangsa merdeka dan berdaulat, sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia. Beliau adalah Bapak Bangsa Sejati.

Keberanian membubuhkan tanda tangan itu bukan tanpa risiko. Oleh penjajah, mereka bisa dituduh sebagai pemimpin pemberontakan, makar, penggulingan kekuasaan, bahkan kemungkinan akan dinyatakan sebagai penjahat perang. Sehingga tak heran bila ketika itu ada tokoh pergerakan kemerdekaan yang secara terang-terangan menolak untuk membubuhkan tanda tangan.

Meskipun Jepang telah takluk dalam Perang Pasifik dan PD II, tetapi Jepang masih belum memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Di lain pihak, Belanda yang telah lama menjajah kepulauan nusantara dan hanya 3,5 tahun diselingi Jepang, masih bernafsu untuk kembali menduduki bekas koloninya. Maka, bila rakyat Indonesia tidak bisa bertahan dan mempertahankan kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta-lah yang paling dianggap bertanggung jawab atas segala kekacauan dan peralihan kekuasaan pemerintahan secara illegal.

Tetapi Bung Karno dan Bung Hatta telah yakin pada diri mereka, bangsa Indonesia telah sadar akan arti pentingnya kemerdekaan. Bangsa Indonesia akan mempertahankan kemerdekaan, bukan hanya untuk menyelamatkan mereka berdua, tetapi menyelamatkan kebebasan dan kesempatan hidup berbangsa dan bernegara secara berdaulat.

Menyelamatkan harga diri bangsa. Proklamasi kemerdekaan adalah ungkapan paling lantang akan semangat besar untuk hidup sebagai bangsa yang berdiri sendiri dan tidak dikangkangi penjajah. Proklamasi kemerdekaan, itulah hadiah terbesar yang diterima bangsa Indonesia dari dua tokoh besar yang lahir satu abad silam.

Memperingati 100 tahun Bung Hatta, yang dilahirkan di Bukittinggi, 12 Agustus 1902 diwarnai dengan berbagai seruan untuk meneladani moralitas Bung Hatta. Berbagai media massa mengkampanyekan paling tidak tiga nilai baik Bung Hatta, santun, jujur, dan hemat. Nilai-nilai yang menjadi kepribadian Bung Hatta itu sampai sekarang tentu masih sangat relevan untuk dilaksanakan.

Sepanjang hidupnya, Bung Hatta berperilaku senantiasa menampilkan sikap yang santun terhadap siapa pun. Baik kawan maupun lawan. Terhadap Bung Karno yang pada masa sebelum kemerdekaan melakukan kerja sama cukup erat namun kemudian mereka tidak dapat bekerja sama secara politik, tetapi sebagai sesama manusia, Bung Hatta masih menghormatinya. Ketika Bung Karno sakit, Bung Hatta menengoknya. Demikian pula sebaliknya. Kesantunan menjadi sikap dalam hidupnya untuk saling menghargai.

Bila ada pejabat negara yang paling jujur, semua orang Indonesia akan menyebut nama Bung Hatta. Bukan hanya jujur, tetapi ia juga uncorruptable. Tak terkorupsikan, demikian menurut Jacob Utama, Pemimpin Umum harian Kompas. Kejujuran hatinya membuat dia tidak rela untuk menodainya melakukan tindak korupsi.

Padahal, pejabat lain melakukan hal buruk itu. Kalau saja ia mau melakukan korupsi, barangkali bukan hanya sepatu merek Bally yang mampu dibelinya. Bisa saja ia memiliki saham di pabrik sepatu dan berganti-ganti sepatu baru setiap hari. Tetapi, ia tidak melakukan semua itu. Ia hanya menyelipkan potongan iklan sepatu Bally yang tidak terbelinya hingga akhir hayat. Bila dilihat pada kondisi sekarang, seharusnya masa lalu juga demikian, tentu hal ini merupakan sebuah tragedi.

Seorang mantan wakil presiden, orang yang menandatangani proklamasi kemerdekaan, orang yang memimpin delegasi perundingan dengan Belanda –negara yang pernah menjajahnya—hingga Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak mampu hanya untuk sekadar membeli sepasang sepatu bermerek terkenal.

Bahkan, dalam berbagai versi disebutkan, untuk membayar rekening air dan listrik, Bung Hatta yang mengandalkan hidupnya dari uang pensiunan seorang wakil presiden ternyata tidak cukup. Apalagi untuk membeli keperluan lain, seperti sepatu, yang dianggap oleh dirinya sebagai pemenuhan kebutuhan pribadi. Ia masih memikirkan kehidupan keluarga, istri dan tiga orang anaknya.

Sampai akhir hayatnya Bung Hatta dikenal sebagai orang yang tetap sederhana. Dengan pengalaman dan pergaulannya yang sangat luas, serta memiliki pemahaman yang mendalam di bidang ekonomi, hukum, pemerintahan, rasanya tidak akan sulit bagi Bung Hatta untuk berlaku tidak sederhana. Ia bisa menjadi orang yang kaya secara materi, dan tidak perlu merasakan kesulitan dalam hidupnya. Tetapi, visi keneragarawannya mengatakan dia harus menjaga simbol kenegaraan. Bukan untuk dirinya sindiri.

Maka, ia menikmati hidup dari uang pensiun. Dengan jumlah yang tidak seberapa, namun mampu melaksanakan gaya hidup yang hemat, uang pensiun itu “cukup” menghidupinya sekeluarga. Bagi Bung Hatta, tentu saja sangat mudah menerima tawaran bekerja dari berbagai perusahaan, baik lokal maupun internasional. Tetapi, bagaimana dengan citra wakil presiden. Bagaimana mungkin seorangmantan wakil presiden menjadi konsultan perusahaan A. Apakah hal itu tidak memunculkan bias dalam persaingan usaha, mengingat hebatnya pengalaman Bung Hatta? Inilah yang Bung Hatta hindari. Ia ingin menjaga nama baik. Bukan hanya dirinya sendiri, tetapi nama baik bangsa dan negara.

Dalam catatan yang ditulis Meutia Farida Hatta Swasono, putri sulung Bung Hatta, keluarga Bung Hatta memang bukan keluarga yang mengejar kemewahan hidup. Bukan hanya Bung Hatta yang memiliki pikiran dan sikap demikian, juga istrinya Ny Rahmi Hatta. “Kita sudah cukup hidup begini, yang kita miliki hanya nama baik, itu yang harus kita jaga terus,” tulis Meutia menirukan kata ibunya (Kompas, 9/8/2002).

Sebagai orang yang memiliki kesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi dibanding saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air, Hatta merasa memiliki kewajiban untuk ikut menyebarkan pemikiran dan pemahaman, terutama dalam hal kehidupan dalam sebuah negara merdeka. Ia banyak menulis tentang bagaimana sengsaranya rakyat yang hidup dalam jajahan bangsa lain. Sebaliknya, bangsa yang menjajah hanya tinggal menikmati hasil dari keringat rakyat yang dijajah. Dalam sistem ini, secara tegas Hatta tidak melihat adanya keadilan.

Untuk menyadarkan rakyat akan pentingnya arti kemerdekaan, bukan hal yang mudah. Jauh lebih sulit lagi ketika harus menjelaskan apa yang boleh diperbuat dan apa yang tidak boleh dilakukan ketika sudah merdeka. Rakyat Indonesia harus memiliki kesamaan pandang dalam menatap masa depan. Untuk itu rakyat perlu dididik. Yang paling mendasar adalah mereka bebas dari buta huruf, baca dan tulis.

Sehingga pengetahuan mereka akan terus terbuka dengan membaca berbagai informasi yang beragam. Diharapkan nantinya akan muncul pemahaman yang baik mengenai perjalanan mengisi kemerdekaan. Tentu, membaca tidak akan berguna banyak bila tidak ada bahan bacaan. Maka, Bung Hatta secara konsisten membuat tulisan yang menggugah semangat kemerdekaan, mewujudkan cita-cita negara setelah kemerdekaan, mengelola negara dengan baik agar tidak malah menyusahkan rakyat di era yang sudah merdeka, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan berbagai tulisan lainnya.

Antara tulisan dan perbuatan Bung Hatta dengan sikap dan tindakannya tidak terjadi pertentangan. Ia adalah orang yang konsisten menjalankan sikap yang telah diambilnya. Tak perlu heran ketika tiba-tiba Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956, karena merasa tidak cocok lagi Bung Karno yang menjadi presiden. Ia menganggap Bung Karno sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia tidak bisa menerima perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilh sistem demokrasi yang mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan dihormatinya supremasi hukum.

Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu dengan alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi dengan benar. Jelas, bagi Bung Hatta ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap Bung Karno, sahabatnya sejak masa perjuangan kemerdekaan, telah dilakukan. Tetapi, Bung Karno todak berubah sikap. Hatta pun tidak menyesuaikan sikap dengan Bung Karno. Karena merasa tidak mungkin lagi menjalin kerja sama, akhirnya Bung Hatta memilih mengundurkan diri dan memberi kesempatan kepada Bung Karno untuk membuktikan konsepsinya.

Publik kemudian tahu, konsepsi Bung Karno ternyata mampu dimanfaatkan dengan baik oleh PKI dan Bung Karno jatuh dari kursi presiden secara menyakitkan. Namun, hal iu ternyata tidak berarti kesempatan akan diberikan kepada Hatta untuk membuktikan konsepsinya yang berbeda dengan Bung Karno. Hatta tak pernah kembali ke posisi eksekutif bangsa. Meskipun demikian, semua itu tidak mengurangi hasa hormat bangsa Indonesia pada Bung Hatta sebagai orang besar yang berjasa besar terhadap bangsa ini.

Bung Hatta memang tidak pernah menjadi presiden republik ini meski bila ditinjau dari jasa, pengetahuan, peran, dan risiko yang diambilnya, ia layak untuk menduduki jabatan itu. Kesempatan memang tidak datang padanya. Tetapi, ia telah menjadi bapak bangsa dengan moralitas tinggi. Ia adalah cermin dari tokoh yang lurus dan bersih serta memiliki nama baik yang senantiasa dijaganya. Sampai kini, nama Bung Hatta tetap baik dan harum di sanubari Bangsa Indonesia.

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), dari Buku Makam Bung Hatta 1982 dan berbagai sumber)