Kamis, 05 Mei 2011

Jejak Langkah Soeharto (1), Bayar Peramal dari India

   



NAIKNYA Soeharto di kursi kekuasaan menggeser posisi Presiden RI Soekarno tak lepas dari dua momen penting, sebagai batu loncatan --meletusnya peristiwa G 30 S PKI dan lahirnya Supersemar. Di mana posisi Soeharto ketika terjadi aksi penculikan besar-besaran terhadap para jenderal TNI AD? Benarkah Soeharto akan diracun seorang wanita yang mengaku sebagai anak Soeharto?
Postur tubuhnya tak terlalu tinggi. Umurnya, kira-kira lebih dari 50 tahun. Ketika berbicara, laki-laki tak dikenal itu selalu menggunakan bahasa Inggris dan Indonesia. Pria keturunan India itu, suatu hari mampir ke rumah Soeharto di Jl Agus Salim, Jakarta. Ketika itu Soeharto berpangkat mayor jenderal dan menduduki pos cukup penting --Pangkostrad. Entah siapa yang mengajak pria itu mampir ke rumah Pangkostrad. Yang jelas, pria itu diterima Ibu Tien Soeharto, sang pemilik rumah. Setelah dipersilakan duduk, pria itu menawarkan barang dagangannya, berupa batu-batu permata yang berwarna-warni.
Sayangnya ketika berbagai jenis permata itu ditunjukkan, Ibu Tien tidak begitu tertarik. Pria itu lalu mengeluarkan 'jurus' baru --mengaku bisa meramal nasib seseorang. Sontak Ibu Tien menjadi tertarik dan ingin mendengarkan ceritanya. "Sekedar mengisi keisengan saya setuju saja. Setelah orang itu melakukan cara-cara sesuai 'ilmunya', ia lalu menceritakan keadaan masa lalu saya. Banyak yang cocok. Saya jadi penasaran sehingga ingin tahu lebih lanjut apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang," kenang Ibu Tien seperti yang terungkap dalam buku otobiografinya berjudul Siti Hartinah Soeharto Ibu Utama Indonesia.
Dialog pun berlanjut, hingga akhirnya mengarah kepada nasib Soeharto. Lagi-lagi sang penjual akik mempertontokan 'jurus'-nya. Ibu Tien terpana. "Madam.. Suami Madam akan berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan presiden yang sekarang --Soekarno," kata pria itu.
Mendengar penjelasan itu, Bu Tien hanya tersenyum dan mengaku tidak percaya dengan sang peramal. "Ah, tak mungkin…. Suami saya hanya seorang perwira tinggi TNI AD. Sebagai Panglima Kostrad. Sesekali hanya mewakili Menteri/Panglima AD. Itupun sudah berat sekali. Saya tidak percaya," katanya.
Sang peramal mengaku tak akan memaksakan Bu Tien untuk mempercayai ramalannya. Justru yang ia perlukan adalah imbalan jasa ramalannya. Ibu Tien kemudian bertanya, berapa bayarannya. Sang pria itu menjawab, "Forty thousand (empat puluh ribu rupiah)." Akan tetapi Ibu Tien menangkapnya lain. Ia mengira sang peramal itu meminta imbalan forteen thousand (empat belas ribu).
Gara-gara itu, Bu Tien kembali masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil uang. "Madam, not forteen but forty." Sebenarnya Ibu Tien sendiri merasa menyesal. Sebab, biaya atau ongkos meramalnya terlalu tinggi. "Mengapa untuk hal begini saja, cuma sekedar iseng-iseng kok harus merogoh saku empat puluh ribu yang pada waktu itu tergolong jumlah yang banyak. Padahal gaji suami pas-pasan saja," kenang Ibu Tien. Setelah uang diberikan, sang peramal itu lalu pergi.
Sejak itu Ibu Tien mengaku tak pernah lagi bertemu dengan sang peramal itu, meski Soeharto pada akhirnya menjadi seorang tokoh bangsa yang tampil pada 1 Oktober 1965, menghadapi kudeta PKI, lalu dipercaya menjadi presiden menggantikan Soekarno. (Persda Network/Achmad Subechi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar