Memburu Harta Soeharto, dari Mana Memulainya?


Gelombang tuntutan agar harta Soeharto dibongkar makin kencang saja. Kejaksaan Agung akan mengusut, tapi berbagai lembaga pengusut bertumbuhan di masyarakat. Atas dasar apa harta Soeharto akan diburu?
ZAMAN cepat berbalik. Dua bulan lalu, orang masih "takut-takut" bicara soal kekayaan Presiden Soeharto. Di masa itu, paling-paling hanya Megawati Soekarnoputri yang menggugat agar harta Soeharto, yang ditulis majalah Forbes edisi Juli 1997 sebesar 16 milyar dollar AS, segera diusut dan dipertanggungjawabkan. Tapi, kini, belum lagi genap sebulan Presiden RI ke-2 itu mengundurkan diri, orang ramai-ramai (dan terang-terangan) minta agar harta Soeharto segera diusut. Spanduk-spanduk di kampus, pernyataan ormas ke DPR, berita-berita utama media massa, semua senada: tuntaskan soal harta Soeharto dan keluarganya.

Dan 1 Juni 1998 lalu, secara resmi pengusutan sudah dimulai ketika Jaksa Agung mengumumkan akan mengusut harta seluruh pejabat dan mantan pejabat, termasuk bekas Presiden Soeharto. Walau banyak yang meragukan "gigi" Kejaksaan Agung, tapi tuntutan masyarakat kian hari kian keras. Bahkan, sekelompok pemuda hampir saja menduduki stasiun televisi RCTI yang milik anak Soeharto itu. Beberapa waktu lalu, sebidang tanah yang diduga milik Keluarga Cendana juga diserobot rakyat.

Tak bisa dipungkiri, "nafsu" mengejar apa saja milik Soeharto kini tumbuh menyala-nyala. Dan sebuah organisasi swasta pengusut harta pejabat juga telah dibentuk, yaitu Gempita, yang salah satu anggotanya adalah Albert Hasibuan SH. Nama terakhir ini dianggap sukses mengusut sengketa harta Pertamina di pengadilan Singapura. Harta itu dikuasai Kartika Taher, istri salah satu pimpinan Pertamina di masa lalu (lihat: "Selama Habibie Jadi Presiden, Tak Bisa Ada Tim Pengusut").

Mengapa "nafsu" itu begitu membara? Karena ada yang tak wajar. Misalnya, bagaimana mungkin Presiden Soeharto yang gajinya Rp 15 juta sebulan -- ini data Sekretariat Negara -- bisa mempunyai kekayaan bertumpuk-tumpuk. Berita Majalah Forbes tentang kekayaan 16 milyar dollar AS, misalnya, sampai sekarang belum pernah dibantah secara resmi oleh pemerintahan Soeharto. Kekayaan ini belum termasuk saham Soeharto -- yang sudah diketahui luas oleh masyarakat -- di PT Bogasari, pabrik semen Indocement atau di berbagai yayasan yang "menitipkan" uangnya di berbagai bidang usaha.

Penyebab lain dari maraknya tuntutan mengusut harta ini adalah krisis yang berkepanjangan. Krisis membuat orang makin kritis. Berita tentang kekayaan Soeharto yang ditaksir Direktur PDBI Christianto Wibisono senilai Rp 200 trilyun, membuat Soeharto seperti seorang yang membawa berdrum-drum air di tengah rakyat yang kehausan di padang tandus. Berita lain yang dilansir pengamat Laksamana Sukardi bahwa Soeharto punya 40 milyar dollar AS, yang jika benar membuatnya menjadi orang terkaya di dunia, benar-benar membuat rakyat "panas". Di tengah kesulitan mencari penghidupan -- akibat krisis yang diciptakan segerombol konglomerat yang berutang milyaran dollar AS -- masih ada seorang bekas presiden yang begitu nikmatnya menimbun hartanya, tanpa sedikit pun "disentuh" tangan-tangan hukum. Ini sungguh menyentuh rasa keadilan siapa pun (lihat: Daftar Yayasan Keluarga Soeharto).

Apalagi, jika diingat, kekayaan itu diperoleh dengan cara memanfaatkan fasilitas negara. George Junus Aditjondro, dosen Universitas Satya Wacana yang hijrah ke Australia, mencatat banyak sekali fasilitas negara yang disalah-gunakan Soeharto dan keluarganya. Contohnya, ketika sapi bantuan Australia dibiakkan di Tapos Bogor dan dikirimkan ke berbagai daerah, Sigit Harjojudanto tiba-tiba mendirikan PT Bayu Air untuk pesawat pengangkutnya. Modalnya? Aditjondro yakin bahwa modal Sigit adalah pesawat Hercules AURI yang logonya ditempeli "stiker" Bayu Air. "Jadi benar-benar hanya bermodal bayu alias angin," ujar Aditjondro. Ia menunjuk juga kasus "pendomplengan" Televisi Pendidikan Indonesia milik Siti Hardijanti Rukmana selama bertahun-tahun di studio TVRI sebagai penyalahgunaan kekuasaan itu.

Pendomplengan lain, anak-anak Soeharto memanfaatkan kunjungan kenegaraan ayahandanya untuk mencari proyek. Kasus jalan tol Manila yang dikerjakan Siti Hardijanti Rukmana jelas merupakan contoh konkrit. Juga masuknya mobil Proton Saga dari Malaysia yang dijadikan taksi oleh Mbak Tutut di Jakarta.

George, yang mengamati kekayaan Soeharto sejak tahun 70-an, melihat modus lain. Yaitu, lewat yayasan. Soeharto membentuk Yayasan Yatim Piatu Trikora dan Seroja serta Ibu Tien (almarhum) membentuk Yayasan Harapan Kita. "Makin lama yayasan itu semakin personalized, unsur tentaranya hilang digantikan oleh keluarga," jelas George.

Dan yayasan itu kemudian dipegang oleh keluarga atau orang kepercayaan Keluarga Cendana. Misalnya, Hediyanto yang merupakan bendahara Yayasan Dharmais dan beberapa lainnya.

Menurut George, Sirkuit Sentul dan areal sekitarnya bukan milik Tommy Soeharto tapi milik Yayasan Tirasa yang diketuai Tommy.

Dan hukum Indonesia rupanya gampang "dipelintir", maka sulit sekali mengetahui apakah milik yayasan itu juga sah sebagai milik pribadi (lihat: "Selama 32 Tahun Kita Dipimpin Oleh Tukang Pakai Sarana Umum").

Penyalahgunaan jabatan presiden juga tak bisa dipungkiri dalam kasus mobil nasional, pengaturan tataniaga cengkeh lewat BPPC yang diketuai Tommy Soeharto, atau pengaturan tataniaga jeruk di Kalimantan oleh Bambang Trihatmodjo. Diduga keras, Pertamina adalah sebuah lembaga yang "habis-habisan" dipakai sebagai ajang bisnis anak-anak Soeharto. Kini Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro sedang meneliti 120 perusahaan di bidangnya yang dinilai ada sangkut paut dengan Cendana (lihat: Tabel Perusahaan Keluarga Cendana).

Dengan semua fasilitas inilah anak-anak, bahkan cucu-cucu Soeharto menikmati kekayaan yang luar biasa (lihat: Harta Sang Eyang Sampai Sang Cucu). Usaha mereka nyaris ada di setiap lini usaha: dari listrik swasta, makanan, televisi, sampai properti (lihat: "Hampir 95 Persen Sektor Properti Kena KKN"). Sebuah sumber yang tahu benar kehidupan seorang direktur di perusahaan minyak milik Keluarga Cendana, menceritakan kisah yang mirip dongeng "1001 malam". Konon, peralatan makan dan minum keluarga direktur yang tinggal di bilangan Kebayoran Baru itu terbuat dari emas. Engsel pintunya didatangkan dari Italia, juga semua lantai. Sebagai "kedok", keluarga itu diharuskan membangun rumah sakit sebagai "upeti sosial" agar masyarakat tak menaruh curiga. Sang direktur dikabarkan memungut 1 sen dollar AS dari 800 ribu barrel minyak yang didatangkan ke Indonesia setiap hari.

Namun, di tengah derasnya tuntutan, bagaimana secara hukum legal menyelesaikan kasus harta Soeharto ini? Albert Hasibuan SH menunjuk pemakaian undang-undang anti korupsi sebagai alatnya. Jika masyarakat merasa ada yang dirugikan, upaya menggugat secara perdata juga dimungkinan, lewat class action sebagai contoh. Ketua Gempita, organisasi untuk mengusut harta pejabat itu, sadar benar bahwa pembuktian legal atau tidaknya harta Soeharto akan makan waktu lama.

Karena itulah Direktur PDBI Christianto Wibisono punya usul menarik. Yaitu, Soeharto diberi amnesti nasional alias diampuni dari tuntutan hukum, tapi ia harus menyerahkan 55 persen hartanya. Christianto menghitung, 30 persen dari jumlah itu adalah pajak yang "alpa" dibayar keluarga itu, dan 25 persen lainnya adalah denda akibat kegiatan KKN dalam mendapatkan harta tadi. Dan Christianto menaksir sedikitnya Soeharto mempunyai Rp 200 trilyun (lihat: "Lima Puluh Lima Persen Harta Soeharto untuk Negara").

Apa pun caranya: pertanggungjawaban mutlak harus diberikan oleh bekas presiden, Soeharto. Paling tidak untuk menjelaskan mengapa negeri yang makmur ini sekarang "sekarat" ekonominya. Secara hukum, semua isu yang berseliweran tentang harta Soeharto harus dibeber di pengadilan. Jika Soeharto bersalah, ia pantas dihukum. Jika terbukti ia "bersih", selayaknyalah namanya direhabilitasi.


sumber : Tempo.co.id